Selasa, 05 Agustus 2008

untuk sahabat

Untuk Sahabat
Belum juga matahari keluar dari peraduannya, saat semua orang masih meringkuk di balik selimut kusam mereka, Cimut dan Lonya mengayuh sepeda butut mereka dengan laju kencang membelah angin di jalanan berbatu yang membelah padang rumput liar dan ilalang. Mereka susuri tikungan demi tikungan.
Cimut berhenti sejenak.
“Lonya!” Teriaknya denagn nafas beradu sambil menyeka keringatnya denagn satu lengan seragam putihnya.
Kalau sudah begitu, Lonya mengerti. Cimut menderita sakit jantung, begitu kata Emak Cimut. Ia akan menunggu Cimut mengembalikan tenaganyan dengan memberikan kesempatan otot-otot di tubuhnya yang kurus kering, dengan sabar.
Sebenarnya Emak Cimut melarangnya sekolah. Tapi karena tekad Cimut untuk belajar sangat keras, akhirnya Emaknya itu luluh juga.
Perjalanan masih separuhnya. Mereka harus menempuh perjalanan sejauh 2km denagn sepeda butut mereka di atas jalanan berbatu. Itulah sebabnya Emak cimut sempat melarangnya sekolah.
* * *
Bruukk!! Kepala Cimut terantuk sudut meja belajar di kelas yang tembonya dipenuhi oleh lubang itu. Spontan, semua anak kelas 6 SDN Pulau Boa yang sedang bermain kejar-kejaran pada jam istirahat itu kemudian menumpahkan perhatiannya penuh pada Cimut.
Denagn sigap, Lonya berlari menghampiri Cimut. Dilihatnya darah mengalir dari pelipis mata sahabatnya. Rasa khawatir terselip di hati Lonya.
Cimut mengerang kesakitan. Perlahan, matanya mulai tertutup.
Samar… Perlahan Cimut membuka matanya.
Yang pertama kali dilihatnya adalah wajah muda dan keibuan milik gurunya, Ibu Nala. Lalu Lonya, dan Emaknya yang berdiri sambil berkacak pinggang. Pipinya merah seperti orang marah.
“Kamu enggak apa-apa Cimut?” Tanya Ibu Nala cemas.
Ndak apa-apa kata Ibu?! Wong anak saya jidatnya berdarah gini kok! Mbo’ ya, Ibu Nala jagain anak saya satu-satunya ini. Kok bisa sampe jatoh…huhu…” Isaknya.
Ibu Nala segera mambuka mulutnya mencoba protes. Tapi Emak Cimut denagn sigap mencegah perkataannya.
“Pokoknya saya ndak mau Cimut sekolah lagi. Wis ndok, jgn sekolah. Emak takut Cimut kenepa-kenapa lagi.” Katanya sambil menarik tangan Cimut erat.
Dengan hentakan keras dari sisa tenaganya, Cimut berhasil melepaskan cengkeraman Emaknya.
“Cimut masih mau belajar, Bu. Huhu...Cimut kan mau jadi penulis kalo besar nanti.” Katanya sesenggukan.
“Tapi Cimut harus nurut apa kata Emak, ya.”
Cimut akhirnya mengangguk.
“Mut, setiap hari Lonya janji mau dating ke ruhah Cimut untuk ngajarin pelajaran sekolah.”
Cimut tersenyum senang dan mengangguk antusias.
* * *
Bunyi yang kering dan tajam selalu terdengar setiap kali cangkul Karta menghujam tanah yang sudah lama kerontang. Ia merasa ada sentakan keras terhadap otot-otot tangan sampai ke punggungnya.
Petani itu terus mengayun cangkul. Kaos oblong yang dipakainya basah oleh keringat. Kedua kakinya penuh debu hingga ke lutut. Dan di balik bayangan caping bamboo yang dipakainya, wajah Karta tampak amat letih.
Ketika lajur garapan mencapai batas tanahnya, Karta berhenti mengayun cangkul. Petani itu tegak dan diam. Beristirahat. Lalu menyeka keringat yang deras karena udara yang memanggang.
“Bapa!!” Panggil Cimut pada Karta sambil membawa baki berisi air minum dan sepiring nasi masakan Emak Cimut.
Karta menoleh dan melepaskan pegangannya dari ujung cangkul. Kemudian berjalan letih menuju tempat teduh di bawah pohon mangga yang masih mempertahankan daun-daun terahkirnya, di tempat Cimut berdiri.
Cimut memperhatikan Bapaknya melahap habis nasi yang bibawanya dari rumah. Kalau sudah begitu, Ia akan menghela napas panjang dan melamun. Sesekali menatap jalanan berbatu di hadapannya. Menunggu Lonya datang untuk mengajar dengan sepedah bututnya.
Setelah melihat sahabatnya dari kejauhan, Ia akan bersorak dalam hati. Begitulah keseharian Cimut sejak berhenti sekolah.
* * *
Lonya duduk sambil bertopang dagu denagn kedua sikunya di atas meja belajarnya di kelas. Setelah Cimut berhenti sekolah, jam istirahat merupakan jam yang paling membosankan baginya.
“Lonya, kenapa engga main sama temen-temen?” Tanya Ibu Nala selembut tangannya yang membelai kepala Lonya.
“Saya ingat Cimut Bu.” Jawabnya polos.
“Loh, bukannya setiap hari kamu ketemu dia?”
“Iya sih, Bu. Tapi Lonya ingat waktu Cimut main kejar-kejaran di kelas.”
Ibu Nala hanya bisa membalas tersenyum perkataan Lonya.
“Lonya, adaorang yang mau ketemu kamu. Ikut Ibu ke kantor yu!”
Lonya duduk di hadapan seorang Bapak yang ramah. Manuret pendangannya.
“Jadi ini yang namanya Lonya?”
Lonya hanya mengangguk.
“Lonya, ini Bapak Seno dari Jakarta. Beliau orang dermawan yang mencari siswa tidak mampu yang berprestasi. Nah, Ibu mengajukan kamu untuk mendapat beasiswa itu. Kasihan Ibu kamu, kan janda dan enggak punya pekerjaan lagi.”
Lonya merenung. “Bagaimana dengan Cimut, Bu?”
“Cimut kan sakit. Dia tidak akan diijinkan oleh Emaknya dibawa ke Jakarta.”
“Tapi Lonya janji pada Cimut akan mengajar pelajaran tiap hari.”
“Mulai sekarang biar Ibu saja yang menggantikan kamu.”
Lonya kembali merenung.
* * *
Lonya melepas kacamata yang kini selalu dipakainya. Lalu melepas tas sekolahnya. Dan membuka kancing baju seragam SMAnya. Ia kelihatan gelisah, berkeringat meski Ia berada dalam ruangan kamarnya yang berAC.
Lonya tumbuh menjadi pemuda cerdas dan penuh wibawa. Dia tidak hanya mendapat beasiswa, tetapi juga menjadi anak angkat dari Bapak Seno, teman Ibu Nala guru SDnya dulu. Kini Lonya menjadi seorang yatim piatu.
Kenapa Cimut belum balas surat aku?? Ia membatin.
Bagaimana Cimut sekarang ya? Apa dia menjadi petani ulet seperti Bapaknya? Atau seperti cita-citanya Ia menjadi penulis? Apa dia sudah pernah jatuh cinta?
Seperti aku yang sedang jatuh cinta pasa Aurel, teman sesame OSISku. Oh ya, aku akan bercerita banyak tentang Aurel.
Lonya terus membatin. Tapi dibalik itu terselip rasa gelisah karena Cimut tidak juga membalas suratnya. Tapi rasa itu segera hilang karena liburan ini , Ia akan mengujungi Pulau Boanya tercinta.
Ia tidak sabar menantinya, setalah terakhir kali dia melihat Cimut 2thn lalu saat pemakaman Ibunya. Saat itu Cimut bercerita bahwa sakit jantungnya makin parah saja.
* * *
Lonya meloncat dari perahu yang dinaikinya untuk menyeberang dari pulau Jawa ke Pulau Boa. Dihirupnya udara pedesaan itu. Angin di pantai itu berhambus sepoi-sepoi.
Setelah menempuh jarak 3km, sampailah Lonya di sebuah rumah sederhana. Rumah Cimut. Emak Cimut sudah menyambutnya dengan senyum ramah.
“Lonya!!” Pekiknya senang.
Lonya mencium tangan Emak Cimut dengan hormat. “Cimut mana. Emak?”
Emak Cimut terkesiap dan menatap mata Lonya dalam-dalam.
“Cimut ada di tanah pemakaman. Bapaknya juga ada di sana. Emak juga mau kesana sekarang.”
Lonya mengikuti Emak Cimut tanpa berkata. Malah terjadi adu bisu antara.
Lonya tercengang ketika mendapati Bapak Cimut hanya sendirian terjomgkok di hadapan sebuah gundukan tanah. Di ujung gundukan tanah tertulis sebuah nama di atas sebilah kayu. CIMUT BIN KARTA.
Denagn gemetar, Lonya berusaha menopang tubuhnya sendiri. Berusaha menerima keadaan.
Seketika itu, sekelumit terbayang wajah Cimut. Oh, Cimuuttt….
* * *
Gemuruh tepuk tangan akhirnya mereda juga. Lonya menarik napas dalam-dalam. Lalu mulai bicara dengan pengeras suara dihadapan para wartawan.
“Saya ingin mempersembahkan buku saya yang berjudul PERSEMBAHAN UNTUK SANG SAHABAT ini untuk sahabat saya yang telah tiada. Dia mengajarkan saya apa arti persahabatan. Sekian saja saya kira. Terimakasih…”
Tepuk tangan kembali bergemuruh dalam gedung. Tepuk tangan meriah untuk sang peraih gelar pengarang terbaik remaja, Lonya.