Kamis, 25 Februari 2010

galuh (lomba cerpen smanis)


 GALUH
 

“Galuh! Galuh!!” sorak-sorai warga desa Baobab di area Sungai Cipunegara yang dijadikan tempat perlombaan renang antar desa.
            “Priittt....!!” suara peluit tanda juri memekik keras, menghentikan sorak-sorai para pendukung. Tanda bahwa seseorang telah menyentuh tali rafia merah sebagai garis finish.
            Saat itu, Galuh mengangkat kedua tangannya yang mengepal keluar dari permukaan air sungai yang sedikit kecoklatan. Sambil tersenyum puas ke arah pendukungnya.
            ”Yeee... Galuh menang!!!” teriak Agus, yang diikuti oleh pendukung lain.
            ”Hebat sampean, Luh!” seru Agus sambil membantu Galuh naik ke permukaan.
            Galuh hanya membalas tersenyum perkataan sahabatnya, sambil memperbaiki letak celana pendek yang ia pinjam dari Bapaknya yang ternyata agak kebesaran.
            ”Sumpah, sampean niki saged dados perenang nasional, Luh!”
            “Ah, bisa bae sampean, Gus… Gus… !”
            “Kula beli bobad! Sapa sing weru, Galuh anake buruh tani bisa dadi atlet nasional.” lanjutnya terus berangan.
            ”Amin... ” Jawab Galuh sambil berlalu menuju tempat pembagian piala bergilir yang selama tiga tahun ini berada ditangannya.
* * *
Galuh sedang menghabiskan liburan akhir sekolah SMP-nya dengan membantu Bapaknya bertani jagung. Ia sedang ikut mencangkul saat tiba-tiba Agus berlari sambil memanggil-manggil nama Galuh dan mengacung-acungkan selembar kertas ke udara.
            ”Iku Luh, baca!” Perintahnya sambil menyerahkan kertas itu.


FORMULIR PENDAFTARAN

“Raih 5 beasiswa sekolah di SMA Negeri 1 Cirebon, untuk yang memiliki bakat dlaam bidang olah raga renang, lari, dan basket

            Tertulis :





            ”Mau Bapak Junaid sing biasa dadi juri renang antardesa nitip formulir niki kanggo sampean. Agus sih yakin, Galuh bisa manjing SMA 1 Cerbon!” Dikatakannya semua itu dengan tulus. Matanya besar seperti mata ikan koki yang bodoh. Wajahnya masih merah akibat berlari tadi.
            Dengan berbinar-binar, Galuh membaca kalimat demi kalimat di formulir itu. Lalu mengulang membaca kalimat yang menyatakan penyeleksian tanpa dipungut biaya. Meski hanya atlet antardesa, Galuh dengan semangat berteriak, ”Bapak, Galuh bisa ngelanjuti sekolah SMA!!”.
            Spontan, Karta berhenti mencangkul. Begitupun Juki, ayah Agus, yang kemudian mengikuti langkah Karta menuju Agus dan Galuh.
            ”Priben ceritane, Luh?” tanya Karta.
            ”Galuh janji dapet beasiswa niki, pak! Insya Allah.” katanya mantap.
            ”Apa iku beasiswa?” kini giliran ayah Agus yang bertanya.
            ”Niku pak, sing gratis biaya sekolane, gratis biaya buku pelajarane, lan Galuh bisa dados atlet renang, Pak!! Bisa melu lomba-lomba renang lan sanes-sanese!” semangat Galuh.
            ”Bagus!! Sing getol usaha kanggo dapet beasiswa niku ya, Luh. Bapak pengen ngerasani duwe anak atlet. Engko Bapak gen pengen ngerasani megang piala atlet renang sing emas niku, lho!” Karta terus berangan-angan.
* * *
Karta merapihkan kerah kemeja yang pakainya, nampak lusuh. Bau apek pakaian lama bercampur obat nyamuk bakar tercium saat setiap orang berada satu meter di dekatnya. Namun dengan gagah dan bangga, ia berjalan berdampingan dengan Galuh, anak laki-lakinya menuju gedung olahraga SMA Cirebon, tempat latihan dan pengenalan tempat sebelum besok benar-benar tes renang.
            Karta duduk di bangku panjang di pinggir kolam renang in door, tempat para wali peserta lain juga duduk. Peserta beasiswa renang termasuk yang paling sedikit dibandingkan dengan peserta beasiswa lari dan basket. Karta sedikit lega dengan hal itu.
            Galuh dan peserta lainnya berbaris dengan perlengkapan renang masing-masing. Dihadapan mereka, berdiri Pak Raden, seorang pelatih renang profesional. Wajahnya begitu tegas, namun raut kebapakan tersirat dengan jelas saat ia memandang satu persatu peserta yang berjumlah 15 orang itu. Lalu ia mulai bercerita mengenai asal-usul jaket olahraga berwarna putih dan bertuliskan         TIM PERENANG NASIONAL INDONESIA dengan lambang bendera Indonesia dibawahnya.
            Lalu di akhir ceritanya, ia berkata, ”Renang itu bukan sekedar kalian terjun ke air lalu menggerakkkan tubuh dan membelah air, tapi carilah nilai setiap milidetik yang kalian lalui di dalam air.”
            Selesai berbicara dan semua peserta terjun ke kolam untuk berlatih, pandangan Pak Raden berhenti pada Galuh. Ia menghampiri Galuh sambil memandangnya lekat-lekat dengan tatapan galak. Sambil berkacak pinggang ia berkata dengan nada tinggi, ”Ini yang namanya atlet renang? Punya kacamata renang enggak? Celana renang?” tanyanya. Dadanya naik turun seraya menggelengkan kepala, lalu melanjutkan perkataannya, ”Emangnya saya mau apa, melatih perenang yang cuma pakai celana kolor kebesaran?! Saya enggak mau tau, sekarang kamu belum dibolehkan latihan renang di sekolah ini. Karena tes seleksi itu besok, maka kamu harus sudah punya perlengkapan renang besok. Tidak ada alasan lagi, mengerti....?!”
            ”Mengerti, Pak!” Jawab Galuh lemah. Sambil berbalik meninggalkan area kolam renang tanpa ia pikirkan Karta yang masih beridiri bengong di sudut ruangan. Yang ada dibenaknya saat ini hanya bagaimana caranya ia bisa mendapat perlengkapan renang besok.
* * *
Siangnya, keseharian Karta berjalan seperti biasanya.
            Bunyi yang kering dan tajam selalu terdengar setiap kali cangkul Karta dan Juki menghujam tanah yang sudah lama kerontang. Mereka merasa ada sentakan keras terhadap otot-otot tangan sampai ke punggungnya. Petani itu terus mengayun cangkul. Kaos oblong yang dipakainya sudah basah oleh keringat. Kedua kaki mereka penuh debu hingga ke lutut. Dan dibawah bayangan caping bambunya, wajah Karta dan Juki tampak amat letih.
            Untuk beberapa saat mereka berhenti mencangkul. Petani-petani itu tegak dan diam. Membiarkan otot-otot tubuhnya beristirahat.
            ”Bapak...!!” panggil Agus dan Galuh bersamaan. Mereka membawa nampan masing-masing berisi makanan dan seteko air  untuk Bapak mereka.
            Karta dan Juki berhenti mencangkul. Mereka melepaskan ujung cangkul lalu berjalan lesu meninggalkan jalur garapan menuju bawah pohon mangga yang masih  mempertahankan sisa daun-daun terakhirnya di musim kemarau ini.
            Agus memperhatikan Bapaknya dan Karta melahap nasi dengan rakus. Kalau sudah begitu, ia akan menghela nafas panjang dan melamun sambil memandang garapan tanah kebun jagung. Namun pikirannya melanglang buana. Agus tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA, sedangkan sahabatnya Galuh akan bersekolah di sekolah elit. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa Agus sering melamun.
            ”Aja ngelamun bae, Cung! Wong sing doyan ngelamun beli bisa dadi wong sukses.” Juki membuyarkan lamunan anaknya.
            ”Priben ceritane Agus bisa dadi wong sukses, Pak? Sekola SMA bae beli.”
            ”Bapak beli bisa bayar duit sekola, Gus. Bapak gen pusing mikiri kebon jagung sing beli subur-subur, bayaran bapak dadi setitik pisan!”
            Agus kembali melamun, ia disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa orang tuanya miskin dan ia bukanlah Galuh, yang pintar dan memiliki kemampuan yang layak disebut atlet.
            Galuh yang sedari tadi hanya diam, dengan pertanyaan yang terus berkelebat di otaknya. Bagaimana ia bisa mendapatkan perlengkapan renang?
            ”Wis lah Pak, Galuh beli sekola gen beli apa-apa. Galuh beli pengen nyusai Bapak. Soale beli mungkin Bapak bisa tuku perlengkapan renang.”
            ”Aja putus asa, Luh. Bapak bakal usaha, pasti bisa ngupai perlengkapan renang kanggo Galuh!” Karta mantap.
            ”Iya Luh, aja nyerah! Sampean iku duwe bakat renang, sayang ari beli dilatih. Agus gen pengen bantu Galuh!” dikatakan semua itu dengan tulusnya.
            ”Alah, bisa apa sampean, Gus?” komentar Juki.
            ”Hehe... Agus gen beli weru priben carane. Sing penting kula pengen bantu!”
            ”Bisane ngeyel bae sampean!” komentar Juki lagi pada anaknya.
* * *
            Malam ini selepas tadarus, Karta kembali mengingat Galuh, sama halnya dengan Galuh, yang ada dibenak Karta pun hanya bagaimana caranya mendapat perlengkapan renang. Sedangkan setiap harinya ia hanya mendapat upah 5 ribu sebagai buruh tani. Bahkan honornya itu lebih kecil dari istrinya, Sri yang bekerja sebagai penari topeng.

            Ditutupnya Al-quran dengan hati-hati. Lalu ia bangkit dan berjalan menuju ruang tengah. Karta menyetel radio, satu-satunya hiburan yang ada.
            Jam menunjukkan pukul delapan malam. Istrinya dan Galuh sudah terlelap, lalu tiba-tiba muncul ide dalam benaknya. Dimatikannya radio tua miliknya kemudian dibawanya menuju rumah Pak Sutardi, teman SD-nya dulu, sekaligus seorang guru olahraga SMA di Jakarta yang kali ini sedang libur mengajar sampai tahun ajaran baru tiba satu minggu lagi.
”Ada apa, Karta? Sudah malam begini, tumben main kemari. Ayo masuk!”
Karta duduk di sofa ruang tamu yang menurutnya mewah karena di rumahnya hanya ada kursi kayu panjang yang reot.
Sutardi memandang Karta lekat-lekat. Suatu pemandangan yang kontras antara pakaian lusuh dan kulit hitam legam /karta dengan warna sofa yang putih keemasan dan terlihat benderang iterpa lampu-lampu kristal.
“Aku dengar kamu jadi buruh tani, ya?”
            Karta mengangguk. ”Sampean niki wis sukses ya, Sut” komentarnya sambil melihat ke sekeliling ruangan.
            ”Langsung saja, sebenarnya kamu kesini ada maksud apa, Ta?”
            Karta menarik  napas panjang karena bingung mau mulai dari mana pembicaraan ini. Namun sebelum Karta mengucapkan kalimatnya, Sutardi lebih dulu bicara.
            ”Maaf, Ta. Kalau mau pinjam uang, aduh maaf sekali saya enggak bisa.”
            ”Ampura, Sut. Kula dugi mriki sanes nyuwun yatra. Kula...”
            ”Aduh, Karta. Bisa tidak bicara dalam bahasa Indonesia saja. Saya sudah hampir 20 tahun tidak bicara bahasa Cirebon. Saya sudah lupa!”
            ”Ah, sampean iki budaya Cerbon kok lupa! Ya sudah, begini Sutardi, kula bukan mau pinjem uang atau minta uang, kula Cuma mau minta tolong. Anak kula, Galuh, mau ikut tes renang di SMA Cirebon supaya dapet... apa niku sing gratis duit sekolane?” tanya Karta dalam penjelasannya, masih campur dengan bahasa Cirebonnya.
            ”Beasiswa?” ingat Sutardi.
            ”Iya. Tapi Sutardi....” Karta menghela napas sesaat untuk mengumpulkan keberanian, lalu melanjutkan lagi kalimatnya, ”Galuh harus pake perlengkapan renang. Nah kula inget Sutardi batur SD kula sekarang dadi guru olahraga, pasti duwe perlengkapan renang. Boleh enggak kula beli?”
            ”Emangnya sampean punya uang?”
            Karta menggeleng. ”Kula cuma punya niki, Radio. Yaaah.. walaupun sudah lama tapi suaranya masih anteng, Sut!.” lanjutnya.
            ”Maksudnya kamu mau menukar perlengkapan renang saya dengan radio bod... eh radio lama ini?” Sutardi kemudian terdiam. Memandang aneh radio bodol itu. Tentu tidak ada harganya sama sekali di jaman sekarang yang sedang marak-maraknya dengan DVD dan MP3 Player. Lama ia berpikir sambil mengetuk-ngetuk jemarinya di meja kaca. Suaranya mengisi keheningan diantara mereka.
            ”Baiklah, begini Karta.” Sutardi akhirnya berbicara. ”Saya punya perlengkapan renang yang udah enggak dipakai sejak saya selesai kuliah. Jadi boleh lah barteran dengan radio kamu.”

perjalanan dari rumah Sutardi dilalui Karta dengan langkah ringan. Meski ia harus menempuh jarak empat kilometer.
            Baginya, tidak penting lagi tubuhnya yang lelah. Berteman bayang-bayangnya sendiri dan lampu jalanan, Karta mendekap erat perlengkapan renang itu. Hatinya begitu lega bisa memberikannya kepada anak laki-lakinya tercinta.
* * *
Tanpa mau menjawab pertanyaan Galuh mengenai baju renang, Karta menyuruh anaknya itu segera berangkat ke SMA Cirebon untuk tes renang.
            Tak lupa sebelum berangkat, Galuh mencium tangan Karta dan Sri, Ibu tirinya yang tidak pernah mau tau urusan Galuh.

Pak Raden memandang Galuh dengan cermat. Lalu mengacungkan dua jempolnya sambil tersenyum padanya untuk pertama kali.
            ”Ini baru namanya atlet renang!” serunya.
            Tes renang dimulai. Satu persatu peserta calon penerima beasiswa terjun ke air kolam biru yang bergelung-gelung. Sampai tiba giliran Galuh untuk di tes kecepatan renangnya.
            Galuh melangkahkan kakinya menuju umpakan tempat start. Lalu membungkukkan tubuhya.
            Dengan mulut menggembung penuh berisi udara, Pak Rade meniup peluit.
            Priiitt...!!! Bunyi peluit memekik di area kolam renang in door SMA 1 Cirebon itu.
Galuh terus berpacu dengan air. Melawan gaya berat air dengan gaya bebas. Lalu ia mengingat pesan Pak Raden pada awal pertemuannya. Bahwa di dalam air, carilah nilai dari setiap milidetik yag dilalui...”
* * *
Satu tahun kemudian
            Jam lima pagi Galuh harus sudah terjun ke air kolam. Pulang sekolah jam dua siang harus berenang lagi sampai satu jam. Itulah yang menjadi aktivitas Galuh selama satu tahun sebagai siswa SMA 1 Cirebon penerima beasiswa berprestasi.
            Siang ini selepas latihan, pak Raden yang masih selalu dengan jaket bertulisakan TIM PERENANG NASIONAL INDONESIA nya, mengumumkan hal penting pada anak-anak club renang.
            ”Dua bulan lagi kita akan menghadapi Porseni se-Indonesia. Maka akan diadakan perlombaan renang nasional di Jakarta. Tapi sebelumya bertanding ke Jakarta, kita harus bertanding melawan perenang tingkat SMA di wilyah III Cirebon terlebih dahulu.” Pak Raden berhenti sejenak, memandang keantusiasan murid-muridnya. ”Antara Dedi atau Galuh! Kalian siap jadi perwakilan sekolah kita?” tanya Pak Raden dengan tegasnya. Matanya memandang Dedi dan Galuh bergantian.
            ”Siap, Pak!” jawab Galuh dan Dedi hampir bersamaan.
            ”Ayo, Galuh semangat!!! Dedi, semangat!!!” sorak salah seorang anggota club yang kemudian diikuti oleh ucapan selamat dan ungkapan semangat dari yang lainnya.
            ”Galuh!” suara Pak Raden mengalahkan suara murid-muridnya, namun tidak membuat mereka berhenti bicara, mereka masih berbincang dengan Dedi dengan serunya sampai membentuk lingkaran.
            Galuh mengalihkan pandangannya ke Pak Raden yang berada agak jauh di belakangnya. Lalu berjalan menjauhi kerumunan teman-temannya.
            ”Galuh, Bapak lihat sejak kemarin kamu tidak pakai kacamata renang. Jangan kira bapak percaya, masa ketinggalan sampai dua hari berturut-turut?”
            ”Sebenarnya...kacamata saya rusak, Pak. Maklum kata Bapak saya, kacamata itu sudah puluhan tahun.” Dikatakanya dengan kepala tertunduk.
            ”Baiklah Galuh, bapak mengerti kondisi kamu dan keluarga. Ini ada hadiah untuk kamu!” Pak Raden menyerahkan kantung hitam kecil. Galuh membukanya dan didalamnya terdapat sebuah kacamata renang yang terlihat cukup mahal.
            ”Galuh, jangan kecil hati dengan kondisi keuangan kamu ya!”
            ”Makasih... makasih, Pak!” Galuh menyalami tangan Pak Raden.
* * *
Lagi-lagi Agus menghembuskan nafasnya pajang dan dalam sambil melamun. Merasa jenuh menjadi buruh tani seperti bapaknya, Juki. Sesekali pandangannya beralih ke jalan berbatu. Menunggu sosok sahabatya, Galuh, yang selama satu tahun ini setia manjadi guru privatnya. Agus boleh tidak bisa sekolah, tapi ilmu tidak akan berhenti mengalir untuknya. Beruntung Agus memiliki sahabat yang tidak hanya pandai berenang, tapi ia juga selalu mendapat peringkat 3 besar di kelasnya.

Seusai berlatih, Galuh melangkah riang menyusuri jalan pulang yang berbatu, membelah padang rumput liar dan ilalang menuju kebun jagung temapt bapaknya, Juki, dan kini Agus bekerja.
            ”Agus!” Galuh melambaikan tangan dari kejauhan. Seperti tau kemurungan Agus, senyumnya dibuat penuh semangat sehingga meluluhkan perasaan jenuh dalam diri Agus.
”Priben, Gus? Lanjut beli belajare? Wingi matematika ning bab 4.”
            ”Lanjut, Luh! Kula wis ngerjai soal-soal sing sampean...”
            Begitulah dua sahabat itu selalu saling berbagi. Selesai belajar seperti biasanya mereka ngobrol-ngobrol. Sedangkan Karta dan Juki melanjutkan kegiatan bertani mereka.
* * *
Dedi tidak pernah menjadi teman yang baik bagi Galuh di club renang. Ia selalu menampakkan ketidaksukaannya dengan bersikap cuek bahkan tidak mau memandang dan menyapa Galuh. Padahal Galuh tidak pernah berpikir bahwa dirinya punya kelebihan dibandingkan dengan Dedi, anak seorang pengusaha kaya.
            Penentuan siapa yang akan mewakili sekolah adalah besok lusa. Antara Dedi atau Galuh. Dan hari ini, selisih waktu antara Galuh dan Dedi adalah 5 detik. Galuh lebih unggul.
            Di ruang ganti, saat Galuh sedang membilas tubuhnya di kamar mandi, Dedi dengan sengaja membuka loker Galuh yang tidak terkunci itu, lalu mengambil kantung hitam berisi kacamata renang pemberian Pak Raden. Dengan kecepatan seperti maling, Dedi bergegas pergi dari gedung olahraga.
            Galuh memeriksa tasnya. Mengobrak-abrik isi loker untuk menemukan kacamata renangnya. Bahkan ia sampai terjun lagi ke kolam untuk mencarinya ke setiap sudut kolam. Tapi tak ditemukannya benda yang menurutnya berharga itu. Sayangnya setelah selesai mandi waktu itu satu-satunya orang yang ada di area kolam renang hanya dirinya sendiri.
            Putus asa, Galuh pulang dengan langkah gontai tanpa kacamata renangnya. Bahkan ia lupa mampir ke ladang jagung, tempat Agus menunggunya untuk diajarkan pelajaran sekolah.
* * *
“Sampean niki nangapa, Luh? Wingi kula ngenteni sampean ning ladang.” Agus mencoba protes ketika esok harinya setelah Galuh tidak datang ke ladang kemarin.
            ”Ampura, Gus. Kula cape tas latihan renang.” Jawabannya sambil melamun
Jeda hening.
            ”Sampean libur sekolah?”
            Galuh menggeleng singkat. Tatapannya masih menerawang ke teras rumahnya yang berbatasakan pagar bambu,.
            ”Lah? Kok sampean beli gagian mangkat sekolah?”
            Galuh menggelelng lagi, kali ini lebih singkat.
            Jeda hening lagi.
            ”Gus...” panggil Galuh tiba-tiba memecah keheningan. ”Kacamata renang kula ilang, Gus.”
            ”Hah...? Priben ceritane?”
            Galuh menggeleng lagi. ”Gus, mengkin benjing iku tes renang. Kula dipilih dadi calon perwakilan sekola ning perlombaan wilayah III Cerbon, terus kula disukani kacamata renang ning Pak Raden. Entas adus, kula beli weru kacamata niku wis ilang! Priben iki Gus... kula bisa dumbangi ning pak Raden.” jelasnya.
            ”Ooo... mengkenen bae Luh, sampean beli usah mikiri kacamata renang. Sing musti dipikiri sampean iku latihan lan latihan! Semangat, Luh!”
            Galuh tersenyum tipis, menganggap sahabatnya ini masih kurang mengerti maksud ceritanya.
            ”Aja senyum-senyum bae, Luh! Ayo!” Ajak Agus sambil menarik tangan Galuh.
            ”Mendi?” kali ini Galuh yang tidak mengerti maksud Agus.
            ”Latihan renang, lah!”
            ”Hah! Ning endi?”
            ”Kaya beli weru bae sampean, Luh. Tempat biasane iku loh!
Cipunegara siang ini sepi. Tidak ada anak kecil yang mencari ikan sepat atau sekedar main cipratan air. Suasana yang pas untuk latihan renang, apalagi arusnya tidak deras.
            ”Ayo, Luh sing semangat!!” Teriak Agus dari tepi sungai sambil menepuk-nepuk telapak tangannya. Dilehernya, melingkar stopwatch yang mereka pinjam dari tetangganya yang pemain basket.
            Galuh terus berlatih, menggerakkan otot-otot tangannya dalam gerakan gaya bebas. Terus berpacu dengan waktu.
            ”Stopp!!” seru Agus saat Galuh mencapai batas yang mereka tentukan sebagai batas kolam renang.
            Galuh muncul dari permukaan air. Alisnya terangkat saat melihat Agus, sebagai isyarat menanyakan bagaimana waktu yang dicetaknya.
            ”Aduh, Luh! Kok waktune nambah lamban? Sekien turun 5 detik! Ayo sing semangat! Gerakin tangan sampean kaya kien!” Agus menirukan gerakan renang gaya bebas.
            Galuh naik ke permukaan. Dia diam saja sambil mengelap tubuhnya dengan handuk kecil lalu menatap Agus tajam. ”Aja bisae Cuma nasehati bae, Gus! Sampean beli weru priben susahe nyetak angka bagus. Sampean beli weru priben pusinge kula dina kien!” bentaknya seperti menyalak garang. Ia kemudian berlalu meningggalkan Agus yang bengong karena tidak tau dimana letak kesalahannya.
* * *
”Sepeda saya cuma laku 20 ribu, Pak!?” pekik agus.
            ”Ya iyalah, sepeda butut gini.”
            ”Tambahin deh, Pak.” mohon Agus pada pemborong barang rongsokan itu di pasar.
            ”Ga bisa, De. 20 ribu cukup!”
            ”40 ribu?”
            ”Baik, 30 ribu. Ga bisa ditawar lagi!”
            ”Ehm... Ok, Pak! Makasih!” senangnya sambil mendekap uang 30 ribu itu.
            Agus melangkah menyusuri deratan pertokoan. Lalu ia berhenti di depan sebuah toko besar bertuliskan SPORT CENTER. Dimasukinya toko itu dengan langkah sedikit gugup. Baru sekali melangkah, Agus menemukan apa yang dicarinya, kacamata renang, yang berada di rak paling depan. Dilihatnya harga kacamata-kacamata itu. Tidak ada yang 30 ribu. Paling murah 50 ribu. Agus kecewa. Namun memberanikan diri melangkah menuju kasir.
            ”Pak, kacamata renang yang 30 ribu ada?”
            ”wah, sudah habis De. Mungkin baru ada lagi besok.”
            ”Jam berapa besok saya bisa beli kacamata itu, Pak?”
            ”Emm... jam selapan pasti sudah ada.”
            Agus merenung sejenak. Galuh juga tes renang jam delapan, batinnya.
            ”Baik, kalo gitu besok saya kesini lagi jam delapan, makasih, Pak!”
            penjaga kasir berwajah Tionghoa itu tersenyum ramah sampai sudut matanya tertutup.
* * *
Hari ini tes renang. Galuh memasukkan bekal makanan dan pakaian gantinya ke dalam tas. Jiwanya sedang tidak bersemangat. Ia takut dimarahi Pak Raden karena sudah menghilangkan kacamata renang pemberiannya. Pikirannya masih mereka-reka sendiri bagaimana Pak Raden marah ketika tahu kacamata mahal itu hilang.
            Bel sekolah berbunyi ketika sepeda yang dikayuh memasuki gerbang. Sepeda itu pemberian almarhum ibunya. Bersama-sama dengan Ibu Agus, mereka membeli sepeda yang sama untuk anaknya saat memasuki tahun pertama SMP.
            Galuh ingat Agus. Tidak seharusnya ia marah-marah pada sahabatnya itu. Tapi Galuh segera menepis pikiran tentang Agus. Yang harus dipikirkannya saat ini adalah bagaimana ia harus mengalahkan Dedi supaya ia bisa menjadi perwakilan sekolah di perlombaan wilayah III nanti.
Agus berlari sekencang mungkin. Jam di toko olahraga tadi sudah menunjukkan pukul 08.15 pagi.   Ia berharap tes renang belum dimulai.
            Kini Agus tidak lagi punya sepeda yang dulu selalu menemaninya jika ke sekolah, pasar, atau tempat jauh lainnya. Tapi ia bersyukur bisa berlari, semangat dalam dirinya menjadi bahan bakar bagi otot-otot tubuhnya sehingga jarak 2 kilometer dari pasar ke sekolah Galuh bisa ditempuhnya.
            Agus sampai didepan gerbang SMA 1 Cirebon. Ia menggedor-gedor gerbang besi yang menjulang tinggi itu. Lalu seorang satpam dengan tubuh besar tegap dan kumis tebal yang mencuat ke atas, memandangnya tajam.
            ”Pak, tolong bukakan gerbangnya! Teman saya harus tes renang jam delapan dan memerlukan kacamata renang ini. Cepat, Pak sekarang saya sudah terlambat!” cerocos Agus tanpa henti dengan nafas terengah-engah dan keringat membasahi kaos bolong-bolong yang dipakainya.
            Satpam itu segera membuka gerbang untuk Agus. Bahkan ia bersedia mengantarkan Agus ke Gedung olahraga.
            ”Galuh!!” panggil Agus keras. Dilihatnya Galuh sedang berdiri di depan pintu masuk gedung olehraga, hendak membuka pintu besar itu.
            Galuh memekik kaget melihat Agus.
            ”Galuh, iki kacamata renang kanggo sampean! Wis beli usah mikiri sing endi kacamata iku. Sing penting sampean bisa tes tenang sekien!” Agus masih terengah-engah.
            Galuh bengong, antara bingung, kaget, dan terharu. Ia mengangkat tangan kanannya untuk meraih tas putih bening yang terbuat dari plastik berisi kacamata renang. Dilihatnya kacamata itu, lalu matanya beralih ke Agus. Tubuh sahabatnya itu kini bermandikan peluh. Lalu Galuh tersentak, matanya membulat ketika melihat agus yang tanpa alas kaki.
            ”Sampean numpak sepedae ngebut pisan ya, Gus? Sampe ngos-ngosan.”
            Agus menggeleng singkat. ”Sekien sepeda Agus wis dadi kacamata renang.
            Agus meng sekola sampean dalan kaki. Saking buru-burue sampe lupa nganggo sendal! Hehe...” Agus malah nyengir.
            Galuh memeluk Agus singkat. Lalu menatap Agus dengan mata basah. Butiran bening dari pelupuk matanya membentuk aliran di pipi hitamnya.
            ”Kesuwun, Gus...”
            ”Wis, Luh. Ayo manjing! Engko telat tes renange.”
            ”Sampean gen manjing, Gus. Engko kula sukani sendal.”
            Agus nyengir, lalu menoleh dan tersenyum ke arah satpam yang sedang terharu melihat adegan persahabatan dihadapannya. Agus dan Galuh sama-sama berterima kasih padanya yang berlalu meninggalkan gedung olahraga.
* * *
Perlombaan renang se-Wilayah III Cirebon telah dilalui Galuh dengan perjuangan. Galuh bersujud syukur. Piala I lomba renang se-wilayah III Cirebon berada ditangannya. Tidak pernah terrpikir olehnya bahwa cita-citanya untuk mewujudkan keinginan Bapaknya untuk merasakan memegang piala kejuaraan tercapai sudah. Namun piala ini bukan kebahagiaan yang ada di akhir perjuangannya. Piala ini merupakan awal dari perjuangannya untuk menjadi perenang nasional.

Mobil kijang Pak Raden berhenti di depan gang kecil yang membawa Galuh ke rumahnya. Namun betapa terkejutnya Galuh ketika melihat rumahnya dipenuhi kerumunan orang dalam balutan busana hitam. Gema suara tahlil menjadi soundtrack pengiring kedatangannya. Bendera kuning yang ditancapkan ke pelepah pisang itu berdiri lemah di depan pagar bambu rumahnya.
            Galuh berlari masuk. Orang-orang lain yang duduk melingkar itu kemudian menumpahkan perhatiannya pada Galuh. Di tengah-tengah, terbaring bapaknya, Karta. Kapas putih terselip di lubang hidungnya, wajahnya pucat namun seperti sedang tertidur tenang sekali, seperti sedang menemukan kebahagiaan dalam mimpinya.
            ”Bapaaaaaaaaaaak..........!!” Galuh meraung.
            Agus mendekati Galuh, lalu dipegangnya pundak sahabatnya itu yang bergetar hebat.
            ”Paaak.... Galuh menang.” lirihnya. Tangisnya tak bisa lagi dibendung. Lalu diraihnya piala yang bergeletak di sampinghynya. ”ini piala untuk bapak. bapak inget? Dulu bapak pengen ngerasain pegang piala emas. Bangun, Pak!”
”Galuh berhasil membawa piala ini untuk Bapak, huuuu...huuu....” isaknya terus.
Sri, ibu tiri Galuh, yang duduk di sudut ruangan pun masih menangis. Meski ia sudah lebih tenang dari Galuh. Kematian Karta yang mendadak dan diduga serangan jantung saat mencangkul ini membuat semua menangis.
Seketika itu semua terasa gelap. Galuh jatuh pingsan disamping ayahnya yang tidak lagi bergerak. Piala berwarna keemasan itu tergenggam erat di tangan Galuh.
* * *
Mau tidak mau kehidupan terus berjalan. Galuh mejadi yatim piatu dan tinggal berdua saja dengan ibu tirinya yang kurang dekat dengan Galuh.
Dua hari setelah kematian Karta, Pak Raden berkunjung ke rumah Galuh.
Saat itu Sri sudah kembali melalui hari-harinya sebagai penari topeng. Di halaman depan rumah. Lima orang anak perempuan sedang dilatih oleh Sri tarian topeng khas Cirebon dengan memakai topeng putih dan selendang. Tari topeng tumenggung itu menggambarkan seorang pahlawan yang baik hati, gagah, dan perkasa.
Pak Raden diajak ke dalam rumah oleh Galuh, lalu duduk berdampingan di kursi kayu reot.
”Galuh, kamu harus tetap menjalankan peran sebagai atlet renang. Kematian bapak kamu bukan berarti perjuangan kamu berhenti. Kamu bisakan membedakan dua peran sebagai anak dan atlet?”
Galuh mengangguk.
”Kalau begitu besok kamu latihan renang ya? Lomba nasional itu satu bulan lagi lho, kalau kamu ingin benar-benar menjadi atlet, disinilah peluang kamu. Karena 20 perenang terbaik seluruh Indonesia akan menjadi TIM PERENANG NASIONAL, seperti bapak dulu, Galuh!” semangat Pak Raden, tangan kanannya menepuk pundak Galuh, sedangkan tangan kirinya menunjuk tulisan merah TIM PERENANG NASIONAL INDONESIA di atas jaket putih yang selalu dipakainya.
”Iya, Pak! Galuh siap latihan!” jawab Galuh sambil menirukan gerakan hormat pada Pak Raden. Kini semangat mulai terpacu lagi.
”Enggak!! Galuh enggak boleh sekolah apalagi renang!” teriak ibu tiri Galuh yang berdiri sambil berkacak pinggang. Salah satu tangannya memegang ujung cangkul.
 ”Enak aja kamu! Bapak meninggal, kamu mau enak-enakan sekolah, main sama temen-temen? Ooo... enggak boleh!! Nih, cangkul bapak! Terusin pekerjaan bapakmu supaya kita bisa tetep makan!” matanya melotot. Beberapa helai rambutnya lepas  dari ikatan sanggulnya.
”Maaf, Bu. Bisa saya jelaskan sedikit saja mengenai Galuh...”
Belum selesai Pak Raden bicara, Sri dengan sigap memotong pembicaraannya.
”Alaahh...renang itu olahraganya wong sugih! Enggak usah gaya kau, Luh! Orang miskin aja mau ikutan kaya! Jangan kira saya enggak tau, Bapak sampai menjual radio buat dapet perlengkapan renang kamu. Terus ibunya Agus sinis sama saya gara-gara sepeda Agus dijual buat beli kacamata renang kamu yang baru! Kamu emang keterlaluan, kurang ajar kamu Galuh!”
Kini Sri mengacungkan cangkul itu ke udara. Lalu berjalan ke arah Galuh. Kemarahannya tersulut ketika Pak Raden berusaha melindungi Galuh ke balik tubuh atletisnya.
”Cukup, Bu!!!” Pak Raden berteriak.
Sri menurunkan cangkul itu. ”Galuh, kesini kamu!!”
Galuh diam. Masih dalam perlindungan Pak Raden.
”Galuh, kesiniiii...!!!! ” kini Sri mulai berteriak lagi.
Galuh luluh. Karena dilihatnya rumahnya sudah ramai oleh para tetangga yang menyaksikan adegan pertengkaran ini. Galuh didekap oleh Sri. Lalu Sri menatap tajam Pak Raden. Pak Raden tetap dengan tenang kembali menatap Sri.
”Sekarang bapak pergi! Jangan coba-coba datang kesini lagi atau seluruh warga desa ini akan mengusir bapak!”
Galuh memberi isyarat pada Pak Raden agar pergai dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Galuh berjalan dijalanan berbatu. Dihadapannya terbentang ladang jagung yang biasa digarap bapaknya. Namun kali ini ladang jagung itu begitu subur, ditumbuhi jagung-jagung besar dan ramun.
            Di bawah pohon mangga, duduk Karta dengan pakaian bertaninya yang masih bersih dan wangi. Galuh duduk di hadapannya.
            “Galuh, Alhamdulillah bapak seneng Galuh juara. Sekien Galuh janji karo Bapak, Galuh bakal terus usaha supaya bisa dadi atlet kang sing bapak pengen. Aja ana keluhan setitik pun! Galuh musti terus semangat, usaha lan berdoa meng gusti Allah.”
            “Iya, Galuh janji pak!”
            “Bapak balik ya, Luh...”
            “Paak... aja mangkat! Galuh melu Bapak, ya!”
            Tiba-tiba semburat sinar putih memancar dari sebuah titik hingga memenuhi seluruh pandangan Galuh. Bapaknya hilang. Yang ada hanya sinar putih.
            Galuh terbangun dari mimpi panjangnya. Ia berlari ke  kamar mandi dan mengambil air wudhu, lalu menunaikan shalat tahajud ketika jam menunjukkan pukul tiga pagi.
            Hari masih gelap. Sri masih terlelap di balik selimut kusamnya.
            Pelan, Galuh membuka pintu rumahnya. Punggungnya membawa tas besar berisi segala keperluannya. Angin dingin berhembus ketika Galuh mulai melangkahkan kakinya keluar rumah. Galuh tidak peduli meski dingin menusuk hingga ke tulang rusuk, ia susuri gang demi gang.
* * *
Galuh sudah siap dengan pakaian renangnya ketika jam lima pagi Pak Raden datang. Dengan terheran-heran sambil melihat jam tangan hitam yang melingkar ditangannya.   
            “Kamu datang jam berapa, Luh?”
            “Barusan, Pak1”
            “Siap hari ini latihan? Oh iya, ibu kamu sudah setuju? Syukurlah kalau begitu, Luh.”
            Galuh hanya menjawab tersenyum perkataan Pak Raden.
Selesai latihan sore, tidak seperti biasanya Galuh hanya duduk di teras gedung olah raga sambil memandang lapangan basket yang kosong. Angin berhembus memainkan rambutnya yang masih sedikit basah.
            “Enggak langsung pulang, Luh?” tegas Pak Raden.
            “Eh, enggak Pak. Mau istirahat dulu.”
            “Jangan-jangan kamu belum dapat ijin dari ibu kamu ya?”
            “Enggak, Pak. Bukan begitu. Sebenarnya saya cuma mau istirahat sebentar disini.”
            “Bener? Ga mau bapak antar pulang?”
            “Enggak usah Pak, Terima kasih”
            “Ya sudah, Bapak duluan Luh!”
            Galuh memandang kepergain Pak Raden sampai mobil kijangnya hilang dibalik gerbang sekolah. Lalu ia bangkit dan masuk kembali ke gerbang olahraga. Sama seperti kemarin, Galuh tidur di kursi panjang di pinggri kolam renang.
            Lampu-lampu gedung olahraga yang dipasang seri itu dimatikan oleh penjaga sekolah sejak pukul enam sore. Saat itu semuanya gelap, sampai tiba jam empat subuh nanti.
            Berteman keheningan, tubuh galuh menggigil. Ia kelelahan tapi tidak sedikitpun makanan yang dimakannya hari ini. Bibirnya seputih kapas. Lalu dengan tergopoh-gopoh dalam kegelapan diambilnya pakaian-pakaian dalam tasnya untuk menyelimuti tubuhnya. Namun tetap saja tidak bisa menutupi rasa dingin yang menusuk. Galuh tetap bisa terpejam, lelah. Sampai tiba-tiba ruangan terang benderang oleh cahaya lampu.
            “Galuh! Kamu sedang apa di situ?”
            Galuh terbangun dari tidur singkatnya. Sampai-sampai pakaian yang ia pakai untuk menyelimuti tubuhnya berjatuhan dilantai. Dilihatnya Pak Raden dengan wajah kaget, lalu ia menundukkan kepalanya sambil bertanya, “Bapak kenapa balik lagi?”
            “Tas Bapak ketinggalan. Kenapa kamu tidur disini?” Pak Raden balik bertanya. Wajahnya terlihat terkejut, heran, sekaligus iba.
            “Galuh tidak bisa bicara lagi. Tenaganya habis walau hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Pak Raden. Lalu pandanganyya memudar, semua terasa gelap.
* * *
Samar... Galuh membuka matanya perlahan.
            Galuh berada di sebuah kamar yang nyaman dan hangat. Disampingnya duduk Pak Raden yang sudah mengenakan pakaian rumah. Wajahnya menggambarkan kehawatiran yang teramat dalam. Dibantunya Galuh untuk bangun dan meminumkan segelas air hangat yang sudah disediakannya. Lalu dibantunya lagi Galuh untuk berbaring.
            Pelan, Galuh menceritakan semua hal yang menimpa dirinya. Dari mulai kacamata pemberian Pak Raden yang hilang sampai alasan mengapa Ia bisa tertidur di ruang olahraga. Diceritakannya semua itu dalam isak tangis yang tertahan.
            Kalau begitu kejadiannya, kamu tinggal di rumah bapak saja. Sampai selesai perlombaan renang di Jakarta.”
            Galuh mengangguk hormat. “Makasih, Pak...” Kali ini butiran bening yang sejak tadi terbendung jatuh juga. Dengan salah satu tangannya yang mengepal, Galuh berusaha menghapus air mata yang membentuk aliran di pipinya, namun butiran bening itu tak mau berhenti mengalir.
            Pak Raden hanya bisa diam. Membiarkan Galuh menangis dihadapannya.
            “Maaf, Pak... saya kangen sama bapak saya ... saya juga takut ibu marah, terus nyari saya dan menyalahkan Pak Raden. Saya enggak mau jadi buruh tani seperti bapak. Saya mau jadi atlet renang seperti yang bapak saya inginkan.”
            “Galuh, silahkan kamu menangis, jangan malu. Tapi setelah ini, kamu harus tenang dan kembali menjadi Galuh yang dulu. Yang selalu semangat dalam menggapai mimpi, yang selalu datang pertama kalau jadwal latihan pagi, dan Galuh yang selalu mencetak angka terhebat.” Seperti seorang ayah, Pak Raden mengelus pundak Galuh yang berguncang karena isaknya.
            “Galuh, kamu harus menjadi seorang pemimpi, bukan pendamba. Kamu tau apa perbedaan keduanya?”
            Galuh menggeleng.
            “Seorang pendamba hanya bisa membayangkan atau berkhayal apa yang dicita-citakannya tanpa mau berusaha. Tapi seorang pemimpi selalu berusaha keras meraih apa yang diimpikannya. Kamu mau jadi pendamba atau pemimpi, Luh?”
            “Tentu pemimpi , Pak!” jawab Galuh dengan semangat. Kini air mata di pipinya sudah berhenti mengalir.
            “Makanya semangat dong!!” kata Pak Raden sambil menepuk pundak Galuh.
* * *




            15.  Nita Oktara Amaliani
            16.  Galuh Kartadi
            17.  Edo Hodora
            18.  Ahmad Firdaus Nugraha
            19.  Fransiska Devina
            20.  Amelia Syahida
Dua puluh perenang terbaik menjadi TIM PERENANG INDONESIA
Dimohon kedua puluh orang menghadiri acara peresmian bersama
Bapak Prsedien Susilo Bambang Yudhoyono
Pada : Minggu, 26 September Pukul 09.00 WIB
















Galuh bersorak senang. Ia menjauhi kerumunan lalu bersujud syukur dengan butiran bening di pipinya. Ia masuk dalam daftar 20 perenang remaja yang akan menjadi TIM PERENANG INDONESIA.
            Setelah bersujud syukur, Pak Raden dengan senyum khasnya memeluk Galuh dengan perasaan bangga. Baru kali ini muridnya berhasil sampai ke tingkat nasional.
* * *
“Galuh! Galuh! Galuh!” sorak-sorai teman-teman club renang di sekolah Galuh mengiringi perjalannannya memasuki Desa Baobab. Salah seorang temannya mengacungkan medali renang nasional, sedangkan teman lainnya juga mengacungkan jaket bertuliskan TIM PERENANG INDONESIA dengan lambang bendera merah putih di atasnya.
            Para tetangga yang melihat mereka, ada yang heran, ada juga anak-anak kecil yang ikut-ikutan bersorak.
            “Galuh! Sampean wis balik!” seru Agus dengan lantang. Ekspresi kebahagiaanya tak dapat lagi ditutupi. Ia berlari dan menubrukkan tubuhnya ke tubuh Galuh. Dipeluknya sahabatnya itu sambil menangis.
            “Sampean mendi bae, Luh?” Agus melepaskan pelukannya lalu menatap Galuh. “sampean menang?” lanjutnya.
            “Galuh mengangguk seraya berkata, “Iya, Gus kula dados perenang nasional kaya sing sampean ngomong bengen!!”.
            “Galuh! Galuh!” Agus mulai bersorak. Tangan kanannya yang mengepal diacungkan tinggi ke udara dan dikuti oleh teman-teman sekolah Galuh, mereka kembali berpawai menuju rumah Galuh.

Rumah Galuh terlihat sunyi. Ibunya, Sri sedang merapikan selendang-selendang dan topeng-topeng miliknya.
            Sorak-sorai berhenti.
            Sri terkesiap dan menatap mata Galuh dalam-dalam seakan saling berkata, Maaf.
            Galuh melangkah cepat, setengah berlari menuju Sri yang duduk di kursi bambu di teras dan kemudian bersungkem di hadapan ibu tirinya itu.
            “Ampura, Bu... Galuh wis nekad minggat sing umah. Aja marah, Bu..”
            Sri mengangkat pundak Galuh sehingga kini mereka sejajar.
            “Kamu menang, Luh?” tanya Sri, menatap Galuh lekat-lekat. Seperti baru menyadari bahwa ia memiliki anak laki-laki yang sekarang duduk dihadapannya.
            “Inggih, Bu. Benjing Galuh ngajak ibu meng Jakarta. Ketemu karo Bapak Presiden, Bu.”
            “Buat apa ibu ikut?”
            “Galuh pengen Ibu dateng ke acara peresmian anggota perenang Indonesia, besok. Karena Ibu adalah ibunya Galuh. Satu-satunya orang tua yang Galuh Harap bisa menerima Galuh sebagai anak.”
            Butiran bening membasahi pipi Sri yang sedikit keriput itu.
            “Maafin Ibu, Luh. Bikin kamu sampe minggat dari rumah. Iya tentu kamu anak ibu.”
            Disaksikan semua itu oleh Agus dan teman-teman sekolah Galuh yang mulai mengharu biru. Diantara mereka ada yang ikut menangis.
* * *
Galuh terlihat gagah dalam balutan jaket putih bertuliskan TIM PERENANG INDONESIA di punggungnya. Ia melangkah pasti menaiki panggung. Lalu beserta dua puluh atlet renang lainnya Galuh berbaris berjajar di panggung yang megah.
            Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjalan gagah, raut bijaksana dan kearifannya membuat semua orang merasa tunduk. Disampingnya seorang pengawal membawa nampan besar berisi medali-medali. Susilo Bambang Yudhoyono berdiri dengan senyum khas penuh wibawa dihadapan Galuh. Lalu ia mengalungkan medali itu di leher Galuh sambil berbisik, “Harumkan nama bangsa Indonesia”
            Sri dan Agus memandang haru adegan itu dari kursi penonton.
            Setelah itu, satu persatu peraih medali berbicara di podium, menyampaikan perasaan bahagia yang berbeda satu sama lainnya.
            Galuh dengan gugup memegang mikrofon agar sejajar dengan bibirnya. Ia menarik nafas panjang untuk mengumpulkan keberanian. Seluruh ruangan hening.
            “Saya, bisa berdiri di sini berkat pahlawan-pahlawan dalam hidup saya. Saya bisa terus berusaha menjadi seorang atlet renang berkat dukungan pahlawan-pahlawan dalan perjalananku menggapai cita. Orang tua, guru, dan sahabat adalah pahlawan saya. Mereka orang-orang yang selalu mendukung kemanapun saya melangkah. Dan ketika saya terjatuh, merekalah yang telah membantu saya untuk bangun dan kembali melangkahkan kaki saya di medan kehidupan. Untuk semua jasa, saya akan mempersembahkan sebuah lagu untuk mereka. Berbekal bakat menyayi dari almarhum ibu kandungnya yang dulu seorang penyanyi sintren, dan juga lagu yang ia kenal dari teman SMA nya, Galuh menarik nafas panjang lagi, kali ini lebih lama membiarkan seluruh ruangan dalam keheningan. Galuh mulai bernyanyai dengan suara lembutnya, menyayikan sebuah lagu berjudul Hero, milik Mariah Carey.
            “There’s a hero if you look inside your heart
            You don’t have to be afraid of what are you
            There’s an answer if you reach into your soul
            And the sorrow that you know will melt away...
                        And then a hero comes along with the strength to carry on
                        And you east your fears a side and you know you and be strong
                        And then you feel like hope is gone look inside you and be strong
                        And you’ll finally see the truth that a hero lies in you...
            It’s a long road whead you face the worl alone
            No one reaches out a hand for you to hold
            You can find love with the search with in your self
            And the emphtyness you felt will dispear...”
Begitulah sampai berangsur-angsur gemuruh tepuk tangan mereda.
                                                                                   
--- Selesai ---